INFOKUTIM.COM, Jakarta Pemilu Indonesia tahun 1997 yang diselenggarakan pada tanggal 29 Mei merupakan titik balik dalam sejarah politik Indonesia. Dengan jumlah penduduk sekitar 196 juta jiwa dan 125 juta pemilih terdaftar, pemilu kali ini menunjukkan dominasi Golkar yang berhasil memenangkan pemilu sesuai prediksi sebelumnya. Pada tahun 1997, lembaga penyelenggara pemilu menjadi bagian dari peristiwa bersejarah ini.
Namun, mayoritas masyarakat tidak menganggap remeh hasil pemilu. Banyak yang merasa bahwa pemilu ini dirusak oleh kecurangan dan manipulasi besar-besaran, sehingga menimbulkan keraguan terhadap legitimasi hasil pemilu. Pada gilirannya, ketidakpuasan yang diharapkan muncul di masyarakat baik di dalam maupun luar negeri.
Lembaga penyelenggara pemilu tahun 1997 merupakan pihak yang turut mengambil keputusan tersebut. Berikut gambaran lembaga penyelenggara pemilu tahun 1997 yakni LPU yang dihimpun INFOKUTIM.COM dari berbagai sumber, Jumat (29 Desember 2023).
Sistem pemilu Indonesia dari tahun 1977 hingga 1997 didasarkan pada sistem daftar proporsional dengan hanya tiga partai utama: Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Golongan Karya (Golkar) dan Partai Demokrat Indonesia (PDI). ). Dalam konteks ini, partai-partai tersebut bersaing memperebutkan kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRN) tergantung pada berapa banyak suara yang mereka peroleh dalam pemilu.
Pada periode ini, lembaga utama yang menyelenggarakan pemilu adalah LPU Penyelenggara Pemilu. Pada tahun 1997, pemilu diselenggarakan oleh suatu badan yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 1970. LPU dipimpin oleh Menteri Dalam Negeri dan terdiri dari dewan pengawas, dewan penasihat, dan sekretariat jenderal. LPU berada di bawah Kementerian Dalam Negeri.
Struktur organisasi penyelenggara pemilu terdiri dari beberapa tingkatan mulai dari tingkat pusat hingga tingkat desa/kabupaten. Pusat koordinasinya adalah Panitia Pemilihan Umum Indonesia (PPI), disusul oleh Panitia Pemilihan Daerah Tingkat I (PPD I) di tingkat provinsi, Panitia Pemilihan Daerah Tingkat II di tingkat kabupaten/kota, dan Panitia Pemilihan (PPS) di tingkat kabupaten/kota. tingkat kecamatan. Terdapat panitia pendaftaran pemilih (Pantarlich) di tingkat desa/kecamatan.
Dibentuklah Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPGS) yang bertugas melakukan pemungutan suara dan penghitungan suara. Telah dibentuk Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) dan Kelompok Organisasi Pemungutan Suara Luar Negeri (KPPSLN) untuk warga negara Indonesia di luar negeri. Setelah pemilu tahun 1982, Badan Pengawas Pemilu (Panwaslak Pemilu) juga dibentuk untuk menjamin kelancaran dan keabsahan proses pemilu.
Pemilu tahun 1997 diadakan di bawah pertanyaan besar mengenai legitimasi dan integritas proses pemilu. Dengan jumlah penduduk Indonesia yang berjumlah sekitar 196 juta jiwa dan 125 juta pemilih terdaftar, pemilu kali ini merupakan kontes tiga partai dimana Golkar, sebagai partai yang berkuasa, nampaknya memiliki keunggulan yang sulit untuk diraih. Sejak awal, banyak pihak yang meragukan integritas pemilu. Kecurigaan muncul tentang kemungkinan manipulasi dan penipuan.
Melansir kepustakaan-presi.perpusnas.go.id, hasil pemilu 1997 menunjukkan Golkar kembali berhasil meraih kemenangan. Meskipun Presiden Soeharto dan pemerintahannya menyatakan puas dengan hasil pemungutan suara tersebut, banyak yang mempertanyakan keaslian dan integritas hasil pemilu. Suara Merdeka memberitakan kegembiraan Presiden Soeharto, namun keraguan terhadap integritas pemilu masih tinggi.
Pemilu tahun 1997 menimbulkan ketegangan dan gejolak di masyarakat. Ketidakpuasan terhadap hasil pemilu menimbulkan ancaman protes dan pertentangan dari berbagai kelompok. Ada tanda-tanda bahwa kebijakan represif pemerintah terhadap kelompok tertentu, terutama oposisi, menimbulkan reaksi kekerasan dan bahkan bisa berujung pada kerusuhan di berbagai daerah.
Selain itu, pemilu ini dipandang sebagai awal dari periode ketegangan yang lebih besar. Karena kemenangan Golkar dianggap kontroversial, masyarakat Indonesia menghadapi serangkaian peristiwa yang melibatkan oposisi dari berbagai lapisan masyarakat. Tidak hanya dalam bentuk kerusuhan, namun juga melalui berbagai wujud moral dan politik yang mengkritik sistem politik Orde Baru yang dianggap berbahaya dan tidak demokratis.
Pemilu 1997 juga menunjukkan wajah sebenarnya kekuasaan Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto. Kemenangan Golkar dipandang sebagai hasil perencanaan besar-besaran untuk mempertahankan status quo dan menolak perubahan politik yang diinginkan mayoritas masyarakat.
Di Indonesia, perlawanan moral dan semangat reformasi yang diungkapkan oleh berbagai kelompok menunjukkan bahwa pemilu telah meningkatkan kesadaran akan perlunya perubahan politik dan demokratisasi yang sesungguhnya. Hasil pemilu tahun 1997 dinyatakan tidak sah secara moral dan politik.
Banyak kelompok yang menolak menerima hasil ini sebagai cerminan keinginan masyarakat. Pemilu ini dipandang sebagai upaya pemerintah untuk mempertahankan kekuasaan namun mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi yang sehat. Kritik terhadap sistem politik Orde Baru yang dianggap menghina bangsa Indonesia menjadi bagian penting narasinya.
Pemilu tahun 1997 juga menimbulkan kekhawatiran mengenai masa depan demokrasi Indonesia. Kemenangan Golkar dipandang sebagai matinya demokrasi, dengan tanda-tanda bahwa eksekutif dan legislatif sepenuhnya berada di bawah kendali partai berkuasa. Persepsi ini semakin diperkuat dengan minimnya keberagaman di partai politik, dimana Golkar selalu menjadi pemenang dan partai oposisi seperti PPP dan PDI hanya dipandang sebagai hiasan belaka dan tidak memberikan dampak nyata.
Pemuda dan pelajar menjadi kekuatan yang menentang hasil pemilu. Aksi boikot, golput, dan goltus di berbagai perguruan tinggi mencerminkan penolakan terhadap pemilu yang dianggap tidak adil dan tidak demokratis. Generasi muda Indonesia ingin menyelamatkan masa depan mereka dari kejahatan dan kerugian akibat sistem politik orde baru.
Munculnya penolakan terhadap hasil pemilu 1997 merupakan awal perjuangan baru untuk membuktikan ketidakabsahan moral dan politik pemilu. Penolakan DPR dan MNR yang dianggap tidak mewakili rakyat merupakan bagian dari upaya menantang legitimasi pemerintah.