INFOKUTIM.COM, Jakarta Baru-baru ini perusahaan vaksin AstraZeneca (AZ) mengeluarkan produknya dari seluruh dunia. Pengecualian dilakukan ketika isu efek samping trombositopenia atau pembekuan darah dibicarakan.
Namun AstraZeneca tidak menyebut trombosis dengan sindrom trombositopenia (TTS) sebagai alasan untuk menahan pemberian vaksin. Penarikan tersebut dilakukan karena produk vaksin AZ tidak menguntungkan perusahaan.
Terkait hal ini, pakar kesehatan global Dickie Bodiman mengatakan pengurangan penggunaan vaksin AstraZeneca sudah terjadi sebelum kasus efek TTS menjadi pemberitaan.
Beberapa negara, terutama negara maju, lebih memilih vaksin lain seperti Pfizer dan Moderna karena harganya lebih terjangkau.
Padahal, sejak awal munculnya Pfizer, Moderna yang melimpah dan mudah diakses, banyak negara, terutama negara maju, yang tidak menggunakan atau memilih AstraZeneca, kata Dickey kepada Health INFOKUTIM.COM, Jumat, 10 Mei 2024 .
Peralihan dari AstraZeneca ke vaksin lain umumnya terjadi mulai tahun 2022. Selain itu, banyak negara termasuk Australia mengandalkan pencapaian kekebalan lokal dengan vaksin messenger RNA seperti Pfizer dan Moderna. Sedangkan AZ merupakan vaksin jenis adenovirus non-replikasi.
“Jadi (penurunan permintaan) ini terjadi sebelum penghapusan dan pengakuan TTS ini,” jelas Dickey.
Bagi Dickey, banyaknya negara yang tidak memilih AstraZeneca bukanlah hal yang aneh. Bahkan di Indonesia, penggunaan vaksin ini jarang terjadi. Pasalnya, pemerintah mendorong penggunaan vaksin lokal.
“Tidak mengherankan jika banyak negara yang sebenarnya tidak memilih AstraZeneca. Kalau di Indonesia, menurut saya sangat jarang ya? Pemerintah, seperti yang saya usulkan, mendorong penggunaan vaksin lokal,” jelas Dickey.
Indonesia sendiri sudah memiliki vaksin COVID-19 dalam negeri yaitu Indovac dari Bio Farma.
“Produk Bio Farma seperti Indovac yang efektif bahkan dikaitkan dengan strain baru juga aman, jelas, dan jelas halal.”
Peralihan penggunaan vaksin AstraZeneca di banyak negara, termasuk Indonesia, menjadi latar belakang penarikan perusahaan tersebut.
Menurut CNN, AstraZeneca mengalami penurunan permintaan terhadap vaksin COVID-19 buatannya, yang sekarang disebut Vaxzevria. Vaksin yang dikembangkan bekerja sama dengan Universitas Oxford ini menjadi salah satu vaksin COVID-19 pertama di dunia. Lebih dari 3 miliar dosis telah diberikan sejak pertama kali diberikan di Inggris pada 4 Januari 2021.
Sayangnya, vaksin tersebut belum menghasilkan pendapatan bagi AstraZeneca sejak April 2023, kata perusahaan tersebut.
“Dengan berbagai versi vaksin COVID-19 yang sedang dikembangkan, terdapat peluang untuk tersedianya vaksin baru. Hal ini menyebabkan penurunan permintaan terhadap Vaxzevria, yang tidak diproduksi atau dipasok,” kata AstraZeneca dalam pernyataannya hari ini (10/5/2024).
Oleh karena itu, AstraZeneca memutuskan untuk memulai penarikan lisensi komersial Vaxzevria di Eropa.
Terkait penarikan vaksin ini, Dickey mengatakan, penarikan vaksin dari seluruh dunia yang dilakukan oleh produsen tentunya akan didasarkan pada alasan-alasan khusus (heroik).
“Dengan menarik vaksin AstraZeneca COVID-19 secara global dari AstraZeneca sendiri, apapun informasinya, maka Anda bisa menyikapinya dengan cara yang berbeda,” kata Dickey.
“Jika kita bertanya, apa saja kemungkinan alasan yang menyebabkan suatu produsen vaksin menarik kembali vaksinnya dari dunia? Tentu diperlukan alasan yang sangat kuat, mendesak dan penting,” lanjutnya.
Secara umum, alasan penghentian vaksin atau obat oleh produsen didasarkan pada: adanya permasalahan mendesak terkait efektivitas vaksin, yaitu sudah tidak efektif lagi dalam menangani virus sasaran. Potensi risiko atau keamanan vaksin yang dapat membahayakan kesehatan masyarakat. Ada temuan bahwa vaksin tersebut harus dievaluasi ulang. Hal ini dapat dikaitkan dengan efektivitas dan keamanannya. Tujuannya adalah untuk menjamin kualitas atau memastikan bahwa vaksin tersebut memiliki kualitas yang baik.