INFOKUTIM.COM, Jakarta – Tahukah Anda bahwa menonton film bisa berdampak buruk bagi anak jika tidak sesuai dengan usianya? Film yang mengandung adegan kekerasan, seksualitas atau bahasa kasar dapat merugikan moral dan psikologi anak.
Oleh karena itu, ada baiknya para orang tua atau orang lanjut usia harus lebih cerdas dalam memilih mainan untuk anak.
Untuk membantu hal tersebut, Lembaga Sensor Film (LSF) menerbitkan Surat Keterangan Sensor (STLS) untuk setiap film yang didistribusikan dan diputar.
STLS ini menunjukkan kesesuaian film dan kategori umur penonton. Tapi apakah STLS cukup?
Mungkin tidak. Kita juga memerlukan budaya sensor independen, yaitu kemampuan memilah dan memilih tayangan berdasarkan kategori umur.
Melalui budaya sensor diri, kita dapat melindungi anak-anak kita dari paparan negatif terhadap film-film yang tidak sesuai dengan usia mereka. LSF dan AVISI berkomitmen untuk meningkatkan budaya sensor independen
LSF sebagai lembaga negara yang bergerak di bidang penelitian dan evaluasi film dan iklan film meluncurkan Gerakan Nasional Budaya Independen Sensor pada tahun 2021.
Gerakan ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat khususnya orang tua tentang praktik budaya sensor diri dalam memilih tayangan untuk anaknya.
Salah satu langkah LSF dalam kampanye Gerakan Nasional Budaya Independen Sensor adalah dengan melakukan survei bersama dengan Asosiasi Penyiaran Video Indonesia (AVISI) yang didukung oleh TSurvey Telkomsel.
Itu dilakukan pada tahun 2023. pada bulan Desember, yang mencakup 1.000 responden, ibu dengan anak di bawah 17 tahun, pengguna siaran video, pengguna ponsel pintar yang tinggal di 11 kota besar di negara tersebut.
Mengutip keterangan resmi, Selasa (1/9/2024), hampir seluruh responden survei (97,9 persen) mengetahui rating usia setiap tayangan dan memilih tayangan dengan rating usia untuk anak-anaknya.
Selain itu, hampir seluruh responden (98%) juga memberikan rekomendasi kepada anaknya mengenai usia menonton film.
Survei ini juga menunjukkan bahwa sebagian besar responden (89%) mengetahui bahwa fitur Mode Anak berfungsi dengan baik, dan sebagian besar responden (92%) meyakini bahwa Mode Anak harus tersedia di semua platform streaming video.
Meski hanya sedikit responden (77%) yang rutin mengajak anak-anak, namun sebagian besar responden (95%) langsung mengganti serial jika mengandung adegan dewasa, dan hampir seluruh responden (99%) mencela karena anak-anak menonton sesuai usianya.
Berdasarkan hasil survei tersebut, LSF berhasil menghimbau masyarakat Indonesia, khususnya para orang tua, untuk menerapkan budaya sensor independen.
Orang tua harus mewaspadai budaya sensor diri ketika memilih tontonan anak berdasarkan kelompok usianya.
Namun gerakannya tidak berhenti di situ. LSF dan AVISI tetap berkomitmen terhadap pengembangan dan promosi gerakan budaya sensor independen melalui berbagai upaya.
Beberapa upaya yang dilakukan antara lain penjangkauan regional, penyampaian konten melalui saluran digital dan fisik, iklan layanan masyarakat, penelitian dan analisis, kolaborasi antar lembaga, dan penguatan komunitas Sahabat Sensor Independen.
Rommy Fibri Hardianto, Ketua LSF, mengatakan: “Orang tua berperan penting sebagai wadah optimalisasi gerakan budaya sensor independen, khususnya bagi anak.”
Ia berharap seluruh orang tua di Indonesia dapat menerapkan budaya sensor independen agar anak-anak di Indonesia menonton sesuai klasifikasi usianya.
Sekretaris Jenderal AVISI Ajeng Parameswari juga menilai orang tua di Indonesia mempunyai peran penting dalam tumbuh kembang anak.
“Orang tua berperan penting dalam tumbuh kembang anak dan dapat mendukung gerakan budaya sensor independen ini,” ujarnya.